IN
MEMORIUM
KH
AHMAD GAZALI MUKHTAR
PENDIRI
PONDOK DARUL HIJRAH
O
L
E
H
Drs.
H. Syahrudi Ramli
Pimpinan
Pondok Pesantren Darul Hijrah Putri
Selasa 13 Januari 2004 merupakan hari berkabung bagi Pondok Darul
Hijrah Cindai Alus Martapura. Pada hari itu sekitar pukul 11.30 witeng, salah
seorang pendiri Pondok Darul Hijrah, KH Ahmad Gazali Mukhtar telah meninggalkan
dunia yang fana ini untuk selama-lamanya, setelah dirawat 6 hari di Rumah
saklit Umum Banjarbaru. Beliau juga adalah pendiri Pondok Darul Hijrah Puteri
Batung dan Pondok Pesantren Darul Ma’arif Rukam Amuntai. Beliau adalah pekerja keras, pejuang yang tidak
banyak bicara, tapi kerja beliau jalan terus tak kenal lelah. Di hari beliau
terserang stroke darah tinggi, Selasa tanggal 6 Januari 2004, beliau berniat
dan sudah siap untuk berangkat ke Pondok Darul Ma’arif Amuntai sebagai bagian
rutin dari kehidupan beliau. Kondisi beliau memang sudah lama tidak begitu
sehat, karena umur beliau sebenarnya melebihi 80 tahun, ini menurut murid-murid
pertama beliau yang rata-rata sudah berumu lebih 60 tahun pada saat beliau
meninggal. Meskipun dengan badan yang agak sempoyongan dan mata yang sudah
tidak awas serta suara yang sudah sulit dipahami (takulur-kulur), beliau tetap
bergerak dan berjalan mengurusi pondok, baik Pondok Darul Hijrah maupun Pondok
Darul Ma’arif. Keluarga dekat sudah sejak lama meminta beliau untuk
beristirahat, begitulah beliau sejak muda mengurus madrasah ibtidaiyah Rukam
sebelum menjadi Mts dan Pondok Darul Ma’arif pulang di tengah malam karena
urusan ke Amuntai sejauh 7 km dengan sepeda butut adalah sudah menjadi
kebiasaan. Semangat memperjuangkan umat yang membara dan mendarah daging tak
pernah pupus dari jiwa beliau, sehingga setelah beliau tidak dapat menggerakkan
kedua tangan dan kaki, dan beliau tak mampu lagi bersuara serta kondisi beliau
terus menurun dan memburuk, kesadaran beliau menghilang, barulah perjuangan
beliau berhenti. Semoga ini menjadi contoh bagi generasi sepeninggal beliau.
Beliau lahir tanggal 12 Mei 1927
sebagaimana tertulis pada KTP, setelah tamat dari Pondok Rakha Amuintai, beliau
mendirikan madrasah diniyah di Desa Rukam Panyiuran Amuntai pada tahun 1949
sewaktu beliau masih bujangan. Pengajaran mula dilaksanakan pada 2 buah
mushalla, setelah itu berpindah ke sebuah rumah yang tidak dihuni. Kemudian membangun
madrasah dengan bangunan 3 lokal di atas tanah yang statusnya masih pinjam
tahun 1954. Beliau meneruskan sekolah ke KMI Gontor 1957,, setelah ditest
beliau langsung duduk di kelas V KMI. Ketika duduk di kelas VI pada tahun 1958
pulang mendadak, karena pendidikan pengajaran madrasah di Rukam terhenti. Tahun
1959, beliau membangun sebuah bangunan madrasah di Simpang Empat Rukan
Cangkering, karena bangunan yang lama tanahnya hanya berstatus pinjam, bangunan
tersebut dapat disaksikan saat ini, meskipun sudah beberapa kali
direhabilitasi.Tanah tersebut dipilih karena dulunya adalah tempat mangkalnya
para penjudi dan preman pada saat itu. Waktu mendirikan memang ada tantangan
dari masyarakat, dengan alasan para preman tersebut akan membahayakan kelangsungan
madrasah, juga sebagian masyarakat ingin lebih dulu mendirikan masjid. Semua
tantangan beliau hadapai dengan tegar dan sabar, sehingga masyarakat memahami
perjuangan beliau dan tempat kemaksiatan itu menjadi hilang. Sambil membina madrasah tersebut, beliau
mengabdi menjadi pengajar di Rakha
(Normal Islam) Amuntai, sekolah almamater beliau sebelum ke Gontor.
Beliau punya anak 11 orang pada
umumnya sudah sarjana, salah satunya dr Irhamni, spesialis bedah, kepala rumah
sakit di Jakarta.
Beliau dianggap berhasil mendidik anak dan murid. Sewaktu beliau aktif
mengelola madrasah ibtidaiyyah Rukam, lulusannya dapat langsung ke kelas 2 Mts
Normal Islam Amuntai karena mutu dan tingginya kemampuan lulusannya. Sekolah
yang beliau kelola dari Ibtidaiyyah, Mts dan akhirnya menjadi Pondok Pesantren
Darul Ma’arif, tak pernah memungut bayaran, beliau mencarikan dana untuk
berlangsungnya pendidikan dan pengajaran kesana kemari (istilah Banjarnya
kucangkirab) dan saking semangatnya untuk membiayai sekolah yang beliau kelola,
beliau hingga diakhir hayatnya tak punya rumah pribadi untuk anak dan isteri
beliau. Semangat beliau di bidang
pendidikan umat sehingga beliau terlihat lebih mementingkan sekolah yang beliau
dirikan dari kepentingan diri dan keluarga beliau sendiri, membuat beliau
pernah dituding kurang waras, demikian ungkapan salah seorang murid beliau, H.
Sulaiman Djafri yang hingga saat ini berjuang sendirian keliling pasar setiap
bulan untuk menutupi kekurangan perbulan biaya Pondok Pesantren Darul Ma’arif
Sayangnya Pondok Pesantren Darul Ma’arif
yang dulunya adalah sebuah pondok pesantren, kini hanya tinggal
kenangan, namanya sudah berganti menjadi SMPN IV, menjadi sekolah negeri yang
dikelola pemerintah. Terpaksa dinegerikan karena Darul Ma’arif tertatih-tatih mencukupi biayanya setiap
bulan dan orang yang siap menggantikan KH Ahmad Gazali Mukhtar menjadi kiayi pondok belum ada.. Diharapkan
SMPN IV akan menjadi sebuah sekolah yang besar dan bermutu, namun bukan lagi
sebuah pondok pesantren yang bernama Darul Ma’arif. H. Sulaiman Djafri sebagai
alumni Madrasah Ibtidaiyah Rukam dan yayasan masih berupaya agar pelajaran
agamanya ditambah sebagaimana layaknya sebuah pondok pesantren, tapi setelah
dikalkulasi, kekurangan biaya menjadi dua kali lipat. Kekurangan biaya tiap
bulan sebelumnya saja sudah terseok-seok, apalagi dua kali lipat, sebuah
tantangan yang sangat berat. Tongkat estafet yang almarhum KH.Ahmad Gazali
Mukhtar tinggalkan berupa sebuah pondok pesantren yang namanya sudah tercatat
dan terpampang gambarnya di buku “direktur pondok” yang dikeluarkan Depag RI
pusat, tetapi tidak ada yang mampu dan bersedia
menyambutnya sepeninggal
beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar