Social Icons

Senin, 25 November 2013

Pendiri

IN MEMORIUM
KH AHMAD GAZALI MUKHTAR
PENDIRI PONDOK DARUL HIJRAH
O
L
E
H
Drs. H. Syahrudi Ramli
Pimpinan Pondok Pesantren Darul Hijrah Putri

             Selasa 13 Januari 2004  merupakan hari berkabung bagi Pondok Darul Hijrah Cindai Alus Martapura. Pada hari itu sekitar pukul 11.30 witeng, salah seorang pendiri Pondok Darul Hijrah, KH Ahmad Gazali Mukhtar telah meninggalkan dunia yang fana ini untuk selama-lamanya, setelah dirawat 6 hari di Rumah saklit Umum Banjarbaru. Beliau juga adalah pendiri Pondok Darul Hijrah Puteri Batung dan Pondok Pesantren Darul Ma’arif Rukam Amuntai. Beliau  adalah pekerja keras, pejuang yang tidak banyak bicara, tapi kerja beliau jalan terus tak kenal lelah. Di hari beliau terserang stroke darah tinggi, Selasa tanggal 6 Januari 2004, beliau berniat dan sudah siap untuk berangkat ke Pondok Darul Ma’arif Amuntai sebagai bagian rutin dari kehidupan beliau. Kondisi beliau memang sudah lama tidak begitu sehat, karena umur beliau sebenarnya melebihi 80 tahun, ini menurut murid-murid pertama beliau yang rata-rata sudah berumu lebih 60 tahun pada saat beliau meninggal. Meskipun dengan badan yang agak sempoyongan dan mata yang sudah tidak awas serta suara yang sudah sulit dipahami (takulur-kulur), beliau tetap bergerak dan berjalan mengurusi pondok, baik Pondok Darul Hijrah maupun Pondok Darul Ma’arif. Keluarga dekat sudah sejak lama meminta beliau untuk beristirahat, begitulah beliau sejak muda mengurus madrasah ibtidaiyah Rukam sebelum menjadi Mts dan Pondok Darul Ma’arif pulang di tengah malam karena urusan ke Amuntai sejauh 7 km dengan sepeda butut adalah sudah menjadi kebiasaan. Semangat memperjuangkan umat yang membara dan mendarah daging tak pernah pupus dari jiwa beliau, sehingga setelah beliau tidak dapat menggerakkan kedua tangan dan kaki, dan beliau tak mampu lagi bersuara serta kondisi beliau terus menurun dan memburuk, kesadaran beliau menghilang, barulah perjuangan beliau berhenti. Semoga ini menjadi contoh bagi generasi sepeninggal beliau.
            Beliau lahir tanggal 12 Mei 1927 sebagaimana tertulis pada KTP, setelah tamat dari Pondok Rakha Amuintai, beliau mendirikan madrasah diniyah di Desa Rukam Panyiuran Amuntai pada tahun 1949 sewaktu beliau masih bujangan. Pengajaran mula dilaksanakan pada 2 buah mushalla, setelah itu berpindah ke sebuah rumah yang tidak dihuni. Kemudian membangun madrasah dengan bangunan 3 lokal di atas tanah yang statusnya masih pinjam tahun 1954. Beliau meneruskan sekolah ke KMI Gontor 1957,, setelah ditest beliau langsung duduk di kelas V KMI. Ketika duduk di kelas VI pada tahun 1958 pulang mendadak, karena pendidikan pengajaran madrasah di Rukam terhenti. Tahun 1959, beliau membangun sebuah bangunan madrasah di Simpang Empat Rukan Cangkering, karena bangunan yang lama tanahnya hanya berstatus pinjam, bangunan tersebut dapat disaksikan saat ini, meskipun sudah beberapa kali direhabilitasi.Tanah tersebut dipilih karena dulunya adalah tempat mangkalnya para penjudi dan preman pada saat itu. Waktu mendirikan memang ada tantangan dari masyarakat, dengan alasan para preman tersebut akan membahayakan kelangsungan madrasah, juga sebagian masyarakat ingin lebih dulu mendirikan masjid. Semua tantangan beliau hadapai dengan tegar dan sabar, sehingga masyarakat memahami perjuangan beliau dan tempat kemaksiatan itu menjadi hilang.  Sambil membina madrasah tersebut, beliau mengabdi menjadi pengajar  di Rakha (Normal Islam) Amuntai, sekolah almamater beliau sebelum ke Gontor. 
              Beliau punya anak 11 orang pada umumnya sudah sarjana, salah satunya dr Irhamni, spesialis bedah, kepala rumah sakit di Jakarta. Beliau dianggap berhasil mendidik anak dan murid. Sewaktu beliau aktif mengelola madrasah ibtidaiyyah Rukam, lulusannya dapat langsung ke kelas 2 Mts Normal Islam Amuntai karena mutu dan tingginya kemampuan lulusannya. Sekolah yang beliau kelola dari Ibtidaiyyah, Mts dan akhirnya menjadi Pondok Pesantren Darul Ma’arif, tak pernah memungut bayaran, beliau mencarikan dana untuk berlangsungnya pendidikan dan pengajaran kesana kemari (istilah Banjarnya kucangkirab) dan saking semangatnya untuk membiayai sekolah yang beliau kelola, beliau hingga diakhir hayatnya tak punya rumah pribadi untuk anak dan isteri beliau.  Semangat beliau di bidang pendidikan umat sehingga beliau terlihat lebih mementingkan sekolah yang beliau dirikan dari kepentingan diri dan keluarga beliau sendiri, membuat beliau pernah dituding kurang waras, demikian ungkapan salah seorang murid beliau, H. Sulaiman Djafri yang hingga saat ini berjuang sendirian keliling pasar setiap bulan untuk menutupi kekurangan perbulan biaya Pondok Pesantren Darul Ma’arif Sayangnya Pondok Pesantren Darul Ma’arif  yang dulunya adalah sebuah pondok pesantren, kini hanya tinggal kenangan, namanya sudah berganti menjadi SMPN IV, menjadi sekolah negeri yang dikelola pemerintah. Terpaksa dinegerikan karena Darul Ma’arif  tertatih-tatih mencukupi biayanya setiap bulan dan orang yang siap menggantikan KH Ahmad Gazali Mukhtar  menjadi kiayi pondok belum ada.. Diharapkan SMPN IV akan menjadi sebuah sekolah yang besar dan bermutu, namun bukan lagi sebuah pondok pesantren yang bernama Darul Ma’arif. H. Sulaiman Djafri sebagai alumni Madrasah Ibtidaiyah Rukam dan yayasan masih berupaya agar pelajaran agamanya ditambah sebagaimana layaknya sebuah pondok pesantren, tapi setelah dikalkulasi, kekurangan biaya menjadi dua kali lipat. Kekurangan biaya tiap bulan sebelumnya saja sudah terseok-seok, apalagi dua kali lipat, sebuah tantangan yang sangat berat. Tongkat estafet yang almarhum KH.Ahmad Gazali Mukhtar tinggalkan berupa sebuah pondok pesantren yang namanya sudah tercatat dan terpampang gambarnya di buku “direktur pondok” yang dikeluarkan Depag RI pusat, tetapi tidak ada yang mampu dan bersedia  menyambutnya  sepeninggal beliau.     

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar